meninggalkan / ditinggalkan?

"Sebenarnya kantukku sudah sampai ke ubun - ubun ketika mengetik tulisan ini. Tapi, lagi - lagi rasa tidak sabar menuangkan segala hal yang berkecambuk di dalam kepala sekaligus hati ini mengalahkannya. Jadi, inilah Frasamelia edisi thoughts. Selamat menikmati."

Seutas tweet menyambangi timeline-ku kala itu ketika pikiranku tengah diserang jengah akibat PPKM Level 4 yang kembali diperpanjang hingga awal minggu nanti. Terketik lantang sebuah pertanyaan oleh sebuah akun random, "Lebih sakit mana ditinggalkan atau meninggalkan?" Pertanyaan yang seketika membuatku bergeming. Memaksa otakku berpikir bergantian dengan dua sudut pandang yang berbeda sama sekali, posisi yang berbeda. 

Lantas, sekelebat ingatan menghampiriku hanya pada hitungan se-per sekian detik mengorbit, lalu mendarat tepat di Hippocampus sistem limbik otak manusia. Ingatan tentang seseorang yang sudah cukup lama memenuhi pikiran, sebuah anomali. Ingatan yang memenuhi hati. Ingatan tentang dia, Aku kembali mengingatnya.

Kubuka dan kubaca satu persatu utasan reply pada tweet itu, hampir semuanya dari scroll paling atas hingga mentok ke bawah menjawab ditinggalkan-lah yang paling menyakitkan, kurang lebih tujuh puluh persen presentasenya.

Rasa sakit hati, amarah, terkejut, kecewa, sedih, dan cemooh adalah ekspresi atau emosi yang kemungkinan muncul pada pihak "yang ditinggalkan". Ketidaktahuan akan sebuah alasan dia ditinggalkan turut serta memperkeruh suasana hati dan pikiran, mengaburkan logika yang perlahan termakan perasaan. Kemudian 'rasa tidak terima' akan samar - samar muncul ke permukaan, lalu bermetamorfosis menjadi rasa kesal bahkan benci. Semuanya larut dalam satu cangkir minuman hangat bernama luka. 

Menjadi pihak "yang ditinggalkan" memberikan efek yang bisa dibilang cukup traumatik. Prasangka merasa tidak diinginkan atau diharapkan menghampiri pihak ini. Segala macam perasaan merasa tidak pantas kemudian menyusul di belakang. Pertanyaan - pertanyaan "mengapa" lalu datang berjubelan. "Mengapa kamu meninggalkanku?" "Mengapa kamu mengingkari janjimu?" "Mengapa kamu tega?"  Dan pertanyaan - pertanyaan sejenis yang menginterpretasikan bahwa kamu-lah pihak yang paling tersakiti dibanding dia, membuatmu berpikir ini sangat menyakitkan dan memulai peran sebagai korban. 

Untuk sesaat aku sependapat dengan mereka. Menjadi pihak yang ditinggalkan memang menyakitkan. Meskipun dikemas sedemikian manis nan mengesankan, perpisahan tetaplah menjadi rasa paling pahit dari jejeran pilihan menu di meja pesanan sebuah restoran. Aku sendiri pernah mengamini jawaban itu dulu. Iya, kalian tidak salah melafalkannya, 'dulu'. Saat egoku masih merasuki hampir dari seluruh kendali diriku. Saat amarah masih menggeluti separuh lebih dari pikiran jernihku.  

Tetapi, pernahkah kamu berpikir bahwa kepergiannya dan kepedihanmu merupakan hasil dari perilaku kalian berdua? Hasil dari kontribusi kalian berdua, tidak hanya dia. Dia meninggalkanmu pasti karena sesuatu yang telah kamu lakukan atau yang tidak kamu lakukan, dan kepedihan yang kamu rasakan saat itu juga merupakan hasil dari gabungan atas apa yang kamu lakukan dan dia lakukan? 

Pernahkah kamu berpikir bahwa sebenarnya semua yang pergi itu menyimpan rahasia yang sengaja tidak pernah mereka ungkap kepadamu? Namun, hal tersebut tidak bisa diungkapkan dengan kata yang bisa kamu eja atau suara yang bisa kamu dengar intonasinya. Pengakuan dan penjelasan seperti itu hanya akan tertuang dalam barisan sajak, puisi, prosa, atau senandika dalam tweet atau blog pribadinya. Rahasia itu tidak ingin didengar atau diketahui siapa pun. Mereka menyembunyikan rahasia itu rapat - rapat hingga rahasia tersebut menjadi malu untuk diketahui oleh orang lain. 

Kemudian ada hal lain yang melukai dia "yang meninggalkan". Perasaan bersalah dan perasaan dihakimi. Bersalah karena menyakiti orang yang ditinggalkan dan dihakimi karena meninggalkan seseorang yang mencintainya. Pernahkah kamu berpikir seperti itu? Mengambil keputusan untuk menjadi yang dihakimi? Dihantui perasaan bersalah yang perlahan - lahan juga butuh yang namanya pembela. 

Kemudian timbul pertanyaan. Bagaimana jika saya meninggalkannya demi kebaikan dia? Karena kalau kami terus bersama begini, hanya akan menabung dosa dalam kemasan zina. Aku meninggalkannya untuk sementara, supaya aku bisa berusaha untuk menuju kebersamaan yang sesungguhnya. Dia "yang ditinggalkan" ini kemudian terkurung dalam gubuk sedih, menyalahkan dirinya sendiri, merasa tak diinginkan lagi. Dia haus akan jawaban dan alasan kepergian rekannya. Namun, pernahkah kamu berpikir bahwa dia yang meninggalkan justru terbelenggu oleh rasa cemas? Rasa cemas kehilangan dirinya dalam hatimu. Dan pada akhirnya harus bersiap ikhlas bila memang bukan takdirmu. Iyap, ikhlas sebenarnya terdengar kurang pantas mengingat dia memang tidak pernah menjadi milikmu. Namun, apa salahnya ya menghibur ego manusia yang selama ini kerap kali membayang hahahaha.

Aku jadi teringat tentang bagaimana perjalanan healing berlangsung, penyembuhan. Segala fenomena yang kita lalui selama kita hidup adalah fase - fase yang menuntun kita untuk terus belajar, meneladani sifat - sifat baik Pendahulu. 

Ada fasenya kamu akan bahagia, ada pula fase kecewa. Jangan kelamaan terjebak di dalam satu warna! Hihihihi.

Zzzttt zztt zttt sebuah pekikan kecil menyambar kepalaku. "Lebih menyakitkan mana antara meninggalkan atau ditinggalkan?" atau "Mencintai atau dicintai?" Dua pertanyaan yang menurutku kurang bijak, ternyata. Pertanyaan - pertanyaan yang berasal dari bagian dalam diriku yang hanya "mau enaknya saja". Kita tidak akan pernah tahu indahnya dicintai tanpa pernah memahami proses mencintai. Seperti yang sudah kubilang kalau hidup ini adalah rangkaian fase yang terus berganti, cari makna dan kebenaran dalam setiap  fenomena yang terjadi, bukan mencari kesalahan - kesalahan orang lain. Berhentilah candu dengan identitas "Aku Benar" dan mari fokus untuk menjadi pribadi yang lebih bijak dengan cara memaknai. 

Bersyukur, akhirnya adalah kata yang kurasa memang tepat. Mengizinkan jalan takdir mengalir bersama iringan do'a dan ikhtiar. Menyemai damai dari maaf yang tercipta di antara kita. Bersyukur karena ia tidak mengungkapkannya kepadaku, alasan dia pergi. Karena artinya ia sangat menyayangi aku dan aku yang menyayangi diriku sendiri.












 




Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Seni Menunggu

Situs dan Asosiasi